Selasa, 03 Mei 2011

Bentang Alam Karst


2.1 Pendahuluan
Karst adalah istilah dalam bahasa Jerman yang diambil dari istilah Slovenian kuno yang berarti topografi hasil pelarutan (solution topography) (Blomm,1979). Menurut Jenning (1971, dalam Blomm 197), topografi karst didefinisikan sebagai lahan dengan relief dan pola penyaluran yang aneh, berkembang pada batuan yang mudah larut (memiliki derajat kelarutan yang tinggi) pada air alam dan dijumpai pada semua tempat pada lahan tersebut. Flint dan Skinner (1977) mendefinisikan topografi karst sebagai daerah yang berbatuan yang mudah larut dengan surupan (sink) dan gua yang berkombinasi membentuk topografi yang aneh (peculiar topography) dan dicirikan oleh adanya lembah kecil, penyaluran tidak teratur, aliran sungai secara tiba-tiba masuk ke dalam tanah meninggalkan lembah kering dan muncul sebagai mata air yang besar.
Berdasarkan kedua definisi diatas maka dapat ditetapkan suatu pengertian tentang topografi karst yaitu: “Suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa batuan yang mudah larut, menunjukkan relief yang khas, penyaluran yang tidak teratur, aliran sungainya secara tiba-tiba masuk kedalam tanah dan meninggalkan lembah kering untuk kemudian keluar ditempat lain sebagai mata air yang besar”.
Dari sebaran batugamping yang ada, Indonesia merupakan wilayah yang potensial sebagai kawasan karst. Dari kondisi geologinya Indonesia kaya akan batugamping. Tetapi tidak semua batugamping yang ada diwilayah Indonesia dapat berkembang menjadi bentang alam karst. Beberapa wilayah di Indonesia yang dapat ditemukan bentang alam karst, yaitu:
-       Pulau Sumatra, bentang alam dipulau Sumatra sangat kurang sangat berkembang, hanya sebagian tempat di Aceh, Sumatra Barat (Singkarak) dan Sumatra Selatan
-       Pulau Jawa, sebaran batugamping dipulalau Jawa umumnya berada dibagian selatan dan beberapa diantaranya berkembang menjadi kawasan karst yang penting serta terkenal di kalangan pemerhati karst. Kawasan bentang alam karst tersebut berada di daerah Gombong Selatan dan Gunung Sewu
-       Pulau Kalimantan, dari ekspedisi speleogi dari tim prancis yang dilakukan pada tahun 1980-an (ESFIK-1982, 1983) melaporkan bentang alam karst di wilayah pegunungan Mangkalit, Kalimantan Timur. Di Kalimantan Tengah dapat dijumpai bentang alam karst yang meliputi Gunung Haje dan Gunung Menunting di Muara Teweh. Di Kalimantan Selatan terdapat diwilayah Pegunungan Meratus yang penyebarannya terputus-putus.
-       Pulau Sulawesi, benrkembang bentang alam karst sangat baikterutama Sulawesi Selatan. Bentang alam karst Maros sangat terkenal dan telah diadakan penelitian serta didapat data sedikitnya 29 gua yang harus dilindungi.
-       Pulau Sumbawa, bentang alam ini terdapat di daerah Waingapu, Sumbawa Barat yang nilai ekonomisnya berupa sumber daya air dengan debit kurang lebih 1000 lt/dt (MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998).
-       Pulau Irian Jaya, Pulau Irian merupakan pulau yang kaya akan sebaran batugamping yang berkembang menjadi bentang alam karst. Kawasan karst terdapat di daerah Wamena-Pegunungan Trikoradengan nilai ilmiah berupa dolina raksasa, gua terdalam, sungai bawah tanah terbesar serta di daerah Biak dan pulau Misool dengan nilai peninggalan arkeologi. Kawasan bentang alam karst di Irian Jaya merupakan satu-satunya formasi batuan yang paling baik mengandung air (MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998).
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bentang Alam Karst
2.2.1 Faktor Fisik
Faktor fisik yang mempengaruhi pembentukan topografi karst meliputi ketebalan batugamping, porositas dan permeabilitas batugamping serta intensitas struktur (kekar) yang mengenai batuan tersebut.
1. Ketebalan Batugamping                                           
Menurut Von Engeln, batuan mudah larut (dalam hal ini batugamping) yang baik untuk perkembangan topografi karst harus tebal. Batugamping tersebut dapat masif atau terdiri dari beberapa lapisan yang membentuk satu unit batuan yang tebal, sehingga mampu menampilkan topografi karst sebelum batuan tersebut habis terlarutkan dan tererosi. Ritter (1978) mengemukakan bahwa batugamping yang berlapis (meskipun membentuk satu unit yang tebal), tidak sebaik batugamping yang massif dan tebal dalam pembentukan topografi karst ini. Hal ini dikarenakan material sukar larut dan lempung yang terkonsentrasi pada bidang perlapisan akan mengurangi kebebasan sirkulasi air untuk menmbus seluruh lapisan. Sebaliknya pada batugamping yang massif, sirkulasi air akan berjalan lancar sehingga mempermudah terjadinya proses karstifikasi.
2. Porositas dan Permeabilitas
Kedua hal ini berpengaruh terhadap sirkulasi air dalam batuan. Menurut Ritter (1978), porositas primer ditentukan oleh tekstur batuan dan berkurang oleh proses sementasi, rekristalisasi dan penggantian mineral (misal: dolomitisasi) sehingga porositas primer tidak begitu berpengaruh terhadap proses karstifikasi. Sebaliknya dengan porositas sekunder yang biasanya terbentuk oleh adanya retakan atau pelarutan dalam batuan. Porositas (baik primer maupun sekunder) biasanya mempengaruhi permeabilitas yaitu kemampuan batuan batuan untuk melalukan air. Disamping itu permeabilitas juga dipengaruhi oleh adanya kekar yang saling berhubungan dalam batuan. Semakin besar permeabilitas suatu batuan maka sirkulasi air akan berjalan semakin lancar sehingga proses karstifikasi akan semakin intensif.
3. Intesitas Struktur Terhadap Batuan
Intersitas struktur terutama kekar sangat berpengaruh terhadap proses karstifikasi. Disamping kekar dapat mempertinggi permeabilitas batuan, zona kekar merupakan zona yang lemah yang mudah mengalami pelarutan dan erosi sehingga dengan adanya kekar dalam batuan proses pelarutan dan erosi berjalan intensif. Ritter (1978) mengemukakan bahwa kekar biasanya terbentuk dengan pola tertentu dan berpasangan (kekar gerus), tiap pasang membentuk sudut antara 70° sampai 90° dan mereka saling berhubungan. Hal inilah yang menyebabkan kekar dapat mempertinggi porositas dan permeabilitas sekaligus sebagai zona lemah yang menyebabakan proses pelarutan dan erosi berjalan lebih intensif. Apabila intensitas pengkekaran sangat tinggi maka batuan menjadi mudah hancur atau tidak memiliki kekauatan yang cukup. Disamping itu permeabilitas mejadi sangat tingi sehingga waktu sentuh batuan dan air sangat cepat. Hal ini menghambat proses kartifikasi (Ritter, 1978).
2.2.2 Faktor Kimiawi
Faktor kimiawi yang berpengaruh dalam proses karstifikasi adalah kondisi kimia batuan dan kondisi kimia media pelarut.
1. Kondisi Kimia Batuan
Kondisi kimia batuan yang dimaksud adalah komposisi dan sifat kimia (kelarutannya).
Secara umum berdasarkan komposisinya batugamping dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, tetapi sesuai dengan namanya batugamping sedikitnya mengnadung 50% mineral karbonat yang umumnya berupa kalsit (CaCO3). Dua jenis mineral karbonat yang umum ada pada batugamping adalah kalsit dan dolomite (Sweeting, 1973 dalam Ritter, 1978). Menurut Leigton dan Pendexter (1962 dalam Ritter, 1978), bila batuan mengandung mineral dolomite lebih dari 50% maka batuannya disebut dolomite dan bila batuannya mengandung mineral kalsit lebih dari 50% maka batuannya disebut batugamping. Batugamping inilah yang mempunyai kecenderungan untuk membentuk topografi karst.
Corbel (1957 dalam Ritter, 1978) menyebutkan bahwa untuk membentuk topografi karst diperlukan sedikitnya 60% kalsit dalam batuan. Untuk perkembangan topografi karst yang baik diperlukan kurang lebih 90% kalsit dalam batuan tersebut, tetapi bila kandungan mineral kalsit lebih dari 95% (batugamping murni, misal kalk) maka batuan tersebut tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk pembentukan topografi karst. Topografi karst yang dapat terbentuk pada kalk hanya lembah kering, lubang pelarutan (solution pits) dari lubang-lubang yang dangkal (swallows holes) atau bentuk minor yang terdapat dipermukaan lainnya (Twidale, 1976). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa dolomit mempunyai pelarutan dan kekuatan (strength) yang lebih kecil dibanding kalsit (batugamping), sehingga perkembangan topografi karst pada dolomit lebih jelek dibandingkan dengan perkembagan karst pada batugamping. Topografi karst yang dapat berkembang pada dolomit adalah surupan kecil, depresi yang dangkal dan beberapa depresi dengan lantai dasar dan dinding yang terjal.
2. Kondisi Kimia Media Pelarut
Media pelarut dalam proses karstifikasi adalah air alam (natural water) (Jehning, 1971 Vide Bloom, 1979). Kondisi kimiawi media pelarut ini sangat berpangaruh pada proses karstifikasi.
Flint dan Skinner (1979) mengemukakan bahwa kalsit sangat sulit larut dalam air murni, akan tetapi ia akan larut dalam air yang mengandung asam. Di alam, air hujan akan mengikat karbondioksida (CO2) dari udara dan dari tanah disekitarnya membentuk air / larutan yang bersifat asam yaitu asam karbonat (H2CO3). Larutan inilah yang akan melarutkan batugamping. Dengan demikian bahwa sifat kimiawi media pelarut sangat dipengaruhi oleh banyaknya karbondioksida yang diikatnya.
Disamping membentuk larutan asam, karbondioksida di dalam air akan meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam larutan tersebut. Tekanan parsial CO2 yang tinggi dalam larutan akan mempertinggi kemampuan larutan untuk melarutkan kalsit. Bloom (1979) menyebutkan bahwa tekanan parsial CO2 pada air yang mengandung udara (aerated aqueous) hanya 30 Pa dan CaCO3 yang dapat dilarutkannya kurang lebih hanya 63 mg/lt, tetapi pada kondisi tidak ada udara (anaerobic) tekanan parsial CO2 meningkat sampai 30 kPa dan CaCO3 yang dapat dilarutkannya mencapai 700 mg/lt.
3. Faktor Biologis
Aktifitas biologis dapat mempengaruhi pembentukan topografi karst, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Bloom (1979) aktifitas biologis (dalam hal ini tumbuh-tumbuhan dan mikrobiologis) dapat menghasilkan humus yang akan menutupi batuan dasar. Humus ini menyebabkan batuan dasar tersebut menadi anaerobik, sehingga air permukaan yang masuk sampai kebatuan dasar (sampai zona anaerob) tekanan parsial CO2nya bertambah besar sampai 10 kali lipat dibanding dengan saat dia berada dipermukaan. Karena tekanan parsial CO2 naik, maka kemampuan air untuk melarutkan batuan menjadi lebih tinggi. Dengan demikian berarti dengan terbentuknya humus oleh aktifitas biologis, maka proses karstifikasi berjalan lebih internsif.
Disamping meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam larutan, pada saat pembentukan humus juga terjadi proses dekomposisi material organik yang menghasilkan karbondioksida (CO2). Karbondioksida ini disebut dengan biogenik CO2, yang merupakan bagian terbesar dari kandungan CO2 di dalam tanah (Ritter, 1978). Dengan demikian berarti bahwa aktifitas biologis juga menambah suplay CO2 didalam tanah dan CO2 ini akan diikat oleh air tanah sehinga lebih reaktif.
Aktifitas biologis kecuali meningkatkan tekanan parsial CO2 dan menambah kadar CO2 dalam tanah juga dapat berpengaruh secara langsung dalam pembentukan topografi karst. Folk, dkk (1973) Vide Ritter (1978) menyebutkan bahwa pembentukan phytokarst dipengeruhi oleh tetumbuhan (dalam hal ini algae) secara langsung. Algae yang hidup pada betugamping melekat dan menembus permukaan batugamping tersebut sedalam 0,1 – 0,2 mm. Algae ini juga menghasilkan larutan asam yang kemudian melarutkan batuan disekitar tempat tumbuhnya, akibat permukaan batugamping tersebut berlekuk-lekuk dengan lubang-lubang yang saling berhubungan dan bentuk tepinya tajam-tajam.
4. Faktor Iklim dan Lingkungan
Iklim dan lingkungan merupakan dua hal yang sering kali sulit untuk dipisahkan. Lingkungan dalam arti sempit adalah kondisi disekitar tempat yang dimaksud (dalam hal ini adalah lahan pembentukan topografi karst) dan lingkungan dalam arti luas meliputi seluruh aspek biotik dan abiotik yang ada di daerah  yang dimaksud.
Didalam membahas lingkungan dalam arti sempit, Von Engeln (1942) mengemukakan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung pembentukan topografi karst adalah adanya lembah besar yang mengelilingi tempat yang tinggi, yang terdiri dari batuan mudah larut (batugamping) yang terkekarkan dengan intensif. Kondisi ini menyebabkan air tanah pada tempat yang tinggi dapat turun, menembus batugamping tersebut dan melarutkannya dengan bebas. Selanjutnya air tanah tersebut masuk kedalam lembah sebagai air permukaan.
Disamping itu Ritter (1978) menyebutkan bahwa kondisi lingkungan disekitar batugamping harus lebih rendah, atau dengan kata lain batugamping tersebut haurs memiliki elevasi yang lebih tinggi dibanding lingkungan disekitarnya. Kondisi lingkungan seperti ini menyebabkan sirkulasi air dapat berjalan dengan baik sehingga proses karstifikasi dapat berjalan lebih intensif.
Lingkungan dalam arti luas mencakup kondisi biotik (aktifitas biologis) dan kondisi abiotik (suhu, curah hujan, presipitasi dan penguapan) daerah yang dimaksud. Kondisi biotik dan abiotik disuatu daerah sangat ditentukan oleh iklim daerah tersebut (Bloom, 1979). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kondisi biotik dan abiotik tersebut sangat mempengaruhi proses eksogenik, yaitu baik pelapukan ataupun pelarutan batugamping. Dengan demikian berarti bahwa iklim sangat mempengaruhi proses eksogenik pada suatu daerah.
Daerah yang beriklim tropis basah (lintang 0° – 13°) curah hujan cukup tingggi, kombinasi suhu dan presipitasi ideal untuk berlangsungnya proses pelarutan sehingga proses karstifikasi berjalan sangat bagus (Riter, 1978). Selain itu sikulasi air tanah sangat baik, tumbuh-tumbuhan lebah dan aktifitas mikroba cukup tinggi sehingga sangat mendukung terjadinya proses karstifikasi. Air tanah di daerah ini sangat reaktif untuk pelarutan dan suhu udara cukup tinggi sehinga reaksi kimia untuk melarutkan batugamping berjalan lebih cepat. Menurut Bloom (1979), air tanah di daerah tropis mengandung asam organik dan komponen nitrat sehingga agrasifitasnya naik. Dengan kondisi daerah semacam ini maka topografi kras dapat berjalan dengan baik di daerah beriklim tropis basah. Topografi karst yang dapat terbentuk pada daerah tropis basah sangat bervariasi baik konstruksional maupun topografi sisa.

2.3 Proses Pembentukan Topografi Karst
Von Engeln (1942) menyebutkan bahwa kondisi batuan yang menunjang terbentuknya topografi karst ada 4, yaitu:
-       Mudah larut dan berada dipermukaan atau dekat dengan permukaan.
-       Masif, tebal, dan terkekarkan.
-       Berada pada daerah yang curah hujannya sedang sampai tinggi.
-       Dikelilingi oleh lembah sehingga air permukaan dapat melalui rekahan-rekahan yang ada pada batuan sambil melarutkannya.
Pembentukan topografi karst dimulai pada saat air permukaan memasuki rekahan yang diikuti oleh pelarutan batuan pada zona rekahan tersebut (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Diagram aliran air didalam batugamping melalui rekahan (a) dan gua (b)

Akibatnya adanya proses pelarutan tersebut, rekahan yang ada menjadi semakin lebar, akhirnya membentuk sungai bawah tanah atau gua.
Davis (1930, dalam Bloom, 1979) mengemukakan teori pembentukan gua yang dikenal sebagai deep phreatic theory yang mengemukakan bahwa gua terbentuk di tempat yang jauh dibawah muka airtanah karena aliran air preatik dapat mencapai tempat yang sangat dalam.
Apabila suatu saat ada suatu sebab yang menyebabkan gua tersebut berada di atas muka airtanah, misalnya pengangkatan atau ada penurunan muka airtanah, maka didalam gua tersebut akan terdapat ruangan yang hanya berisi udara (atmosfer gua). Dengan demikian maka airtanah yang bergerak dari atas dan masuk ke dalam gua tersebut akan menetes ke dasar atau lantai gua. Pada saat airtanah yang membawa larutan kalsium bikarbonat menetes kedalam gua maka gas CO2 dari larutan tersebut berdifusi dan masuk kedalam atmosfer gua, akibatnya akan terendapkan mineral kalsit baik ditempat jatuhnya airtanah maupun pada tempat menetesnya airtanah tersebut (Sanders, 1981). Endapan kalsit tersebut membentuk Stalagtit dan Stalagmit atau dikenal dengan nama Speleothem.
Dengan adanya gua dan sungai bawah tanah ini maka dapat terbentuk depresi tertutup yang disebut surupan. Surupan (dolines) terbentuk bila atap gua atau sungai bawah tanah runtuh , dan surupan yang terbentuk ini dikenal dengan nama collapse dolines atau subjacent karst collapse dolines. Selanjutanya Bloom (1979) mengemukakan bahwa surupan dapat terbentuk oleh proses pelarutan pada saat air permukaan memasuki rekahan pada batuan. Surupan jenis ini disebut solution dolines. Perkembangan surupan runtuhan (collapse dolines) dan surupan pelaurutan (solution dolines) digambarkan oleh Longwell dkk (1948) seperti gambar 2.2.
Gambar 2.2 Perkembangan collapse dolines akibat runtuhnya atap gua (Longwell, 1949)
Pekembangan surupan runtuhan dimulai dengan adanya rongga bawah tanah (gua) pada batugamping. Kemudian gua tersebut mengalami pelebaran bersma-sama dengan berkembangnya Stalagmit dan Stalagtit. Fase selanjutnya adalah runtuhnya atap gua tersebut dan membentuk surupan yang bentuknya tidak teratur.
Surupan pelarutan mulai berkembang saat terjadi pelebaran kekar vertikal oleh pelarutan (Gambar 2.3a). Kemudian terjadi pelebaran kekar tersebut sehingga mambentuk celah yang lebih lebar. Tampak pada gambar 2.3b dan 2.3c bahwa pelarutan lebih efektif pada daerah yang dekat dengan permukaan. Fase selanjutnya lapisan penutup di permukaan terbuka sehingga terbentuk surupan (gambar 2.3d).
Gambar 2.3 Perkembangan surupan akibat adanya pelarutan pada batugamping yang terkekarkan (Longwell, 1948)
Selain yang tersebut diatas, surupan juga dapat terbentuk oleh proses subsiden pada material sukar larut yang menutup batuan mudah larut. surupan jenis ini disebut subsidence dolines.
Apabila surupan-surupan yang berdekatan berkembang sehingga saling berhubungan dan membentuk suatu depresi besar dengan lantai dasar yang bergelombang, maka depresi ini disebut Uvala.
Jenning (1967, dalam Ritter, 1978) menyebutkan bahwa uvala dapat tersusun oleh 14 buah doline dengan ukuran yang bervariasi dan beraneka ragam. Selanjutnya disebutkan pula bahwa bila depresi yang besar tersebut memanjang searah jurus perlapisan atau sepanjang zona lemah structural, lantai dasarnya datar dan dindingnya curam maka disebut Polje.
Proses pelarutan pada batuan karbonat (batugamping) meninggalkan morfologi sisa pelarutan. Perkembangan morfologi sisa ini menurut Jackues (1977, dalam Van Zuidam, 1979) dapat dibagi dalam empat fase. Keempat fase tersebut adalah (Gambar 2.4).
Gambar 2.4 Diagram yang menunjukkan perkembangan morfologi sisa pelarutan (Jackues 1977, dalam Van Zuidam, 1979)

Fase I. Terjadi pelarutan pada batuan yang terkekarkan sehingga membentuk lembah yang ekmudian merupakan zona yang lebih cepat mengalami pelarutan (zona A) dibanding dengan zona B yang tidak mengalami pengkekaran.
Fase II. Karena zona A lebih cepat mengalami pelarutan maka pada zona ini segera terbentuk lembah yang dalam, sementara pada zona B masih berupa dataran tinggi dengan gejala pelarutan di beberapa tempat (gambar 7.5.2).
Fase III. Pelarutan pada kedua zona tersebut terus berjalan sehingga pada fase ini mulai terbentuk kerucut-keucut karst pada zona B. pada kerucut karst ini tingkat pelarutan / tingkat erosi vertikalnya lebih kecil dibanding dengan lembah disekitarnya .
Fase IV. Karena adanya erosi lateral dan korosi oleh aliran sungai maka zona A berada pada batas permukaan erosi dan pada zona B erosi vertikalnya telah berjalan lebih lanjut sehinga hanya tinggal beberapa morfologi sisa saja. Morfologi sisa ini sering disebut dengan Menara Karst. Apabila menara-menara karst terebut terisolasi satu dengan yang lainnya dan dikelilingi oleh dataran alluvial, maka morfologi ini disebut sebagai Mogote atau Pepino Hill.
Morfologi sisa berkembang baik pada daerah yang beriklim tropis basah, karena proses erosi dan pelarutan sangat intensif pada daerah ini (Bloom, 1979).
2.4. Bentang Alam Hasil Proses Karstifikasi
Nama Karst menurut Thornbury (1964) dipakai pertama kali untuk menamakan sebuah daerah di Italia yaitu Carso. Daerah Carso merupakan dareah seluas kurang lebih 38.500 km2 dengan ketinggian mencapai 2.500 m yang litologinya berupa batugamping dimana gejala topografi karst berkembang baik di daerah ini. Daerah karst yang dimaksud tepatnya berada di sebelah timur laut Laut Adriatic.
Bentuk morfologi yang menyusun suatu bentang alam karst dapat dibedakan menjadi dua macam (Srijono, 1984, dalam Widagdo, 1984), yaitu bentuk-bentuk konstruksional dan bentuk-bentuk sisa pelarutan.
2.4.1. Bentuk-bentuk Konstruksional
Bentuk konstruksional adalah bentuk topografi yang dibentuk oleh proses pelarutan batugamping atau pengendapan material karbonat yang dibawa oleh air. Berdasarkan ukurannya, topografi konstruksional dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu bentuk-bentuk minor dan bentuk-bentuk mayor. Menurut Bloom (1979), yang dimaksud dengan bentang alam karst minor adalah bentang alam yang tak dapat diamati pada foto udara atau peta topografi, sedang bentang alam karst mayor adalah bentang alam yang dapat diamati baik didalam foto udara atau peta topografi.
Bentuk-bentuk topografi karst minor adalah:
a.Lapies
Merupakan bentuk tak rata pada permukaan batugamping akibat adanya proses pelarutan, penggerusan atau karena proses lain. Lapies (bahasa Prancis) sering disebut Karren (bahasa Jerman) atau Clints (bahasa Inggris) (Thornbury, 1964). Ritter (1978) mengklasifikasikan Karren berdasar bentuknya menjadi dua kelompok, yaitu yang mempunyai bentuk lurus dan bentuk melingkar seperti bulan sabit  (lihat tabel 2.1).
Tabel 2.1. klasifikasi Karren (lapies) (Ritter, 1979)
Bentuk
Nama
Keterangan
Linier/kurva linier
Solution Flutes
Berupa lekukan halus, lurus, kedalaman 1-2 cm, lebar kira-kira 2 cm, seragam, panjang 10 cm – beberapa meter, antar celah dibatasi oleh pematang yang tajam, terorientasi searah dengan slope.

Solution Runnels
Berupa aluran terbatas, dalamnya kira-kira 40 cm, lebar 40 – 50 cm, panjang lebih dari 2 cm, bila terjadi pada bidang kekar atau bidang perlapisan disebut grikes

Solution Ripple
(Gelombang Pelarutan)
Berupa gelembur gelombang yang tegak lurus terhadap slope, tingginya 10 – 50 cm, terbentuk pada permukaan miring yang curam
Melingkar (bulan sabit)
Lubang pelarutan air hujan (rain pits)
Berupa lubang kecil pada permukaan yang datar, diameternya 3 cm, dalamnya 2 cm, terbentuk oleh tetesan air hujan

Solution Pans
Berupa cekungan dengan lantai yang datar, diameternya 1 – 50 cm, lebar 3 cm – 3 m, terbentuk pada batuan dasar yang tertutup vegetasi

Lereng Pelarutan (Solution Bevels)
Berupa jejak (treads) dan lereng (scraps) yang datar dan licin, panjang treads 20 cm – 1 m, tinggi scraps 3 – 5 cm, terbentuk oleh gerakanair diatas batuan dasar yang miring rendah

Berdasarkan letak pembentukannya (origin), lapies dapat dibedakan menjadi dua macam (Herak dan Stringfiels, 1972), yaitu lapies yang originnya tersingkap dipermukaan dan lapies yang originya tidak tersingkap dipermukaan / berada di bawah tanah dan lapies yang originnya tersingkap dipermukaan.
b. Karst Split
Adalah celah pelarutan yang terbentuk dipermukaan. Karst split sebenarnya merupakan perkembangan dari karst-runnel (solution runnel). Bila jumlah karst runnel banyak dan saling berpotongan maka akan membentuk karst split (Srijono, 1984 dalam Widagdo, 1984).
c. Parit Karst
Adalah alur pada permukaan yang memanjang membentuk parit. Srijono (1984), mengemukakan bahwa parit karst ini merupakan karst split yang memajang sehingga membentuk parit karst.
d.   Palung Karst
Adalah alur pada permukaan batuan yang besar dan lebar, dibentuk oleh proses pelarutan. Kedalamannya dapat mencapai lebih dari 50 cm. biasanya terbentuk pada permukaan batuan yang datar atau miring rendah dan dikontrol oleh struktur yang memanjang.
e.    Speleothem
Adalah hiasan yang terdapat didalam gua yang dihasilkan oleh endapan berwarna putih, bentuknya seperti tetesan air, mengkilat dan menonjol. Hiasan ini merupakan endapan CaCO3 yang mengalami presipitasi pada saat air tanah yang membawanya masuk kedalam gua (Sanders, J.E., 1981). Macam-macam speleothems yang sering dijumpai adalah Stalagtit, yaitu hiasan yang menggantung dilangit-langit dan Stalagmit, yaitu hiasan yang berada di dasar atau di lantai gua serta Tiang Masif (Massife Column), yaitu hiasan yang terbentuk bila stalagtit dan stalagmite bertemu. (lihat gambar 2.5).

Gambar 2.5 Stalaktit dan stalagmit yang hampir membentuk tiang masif (massive column) (Samodra, 1997)
f.Fitokarst
Adalah permukaan yang berlekuk-lekuk, dengan lubang-lubang yang saling berhubungan. Antara lubang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh tepi-tepi yang tajam, sehingga memberikan bentuk seperti bunga karang pada menara (pinnacles) karst. Morfologi ini terbentuk karena adanya pengaruh aktifitas biologis, yaitu adanya algae yang yang tumbuh didalam batugamping. Algae menutup permukaan dan masuk kebawah permukaan sedalam 0,1 – 0,2 mm, tampaknya algae tersebut tumbuh didalam batugamping dan menghasilkan larutan asam yang dapat melarutkan batugampingnya sehingga membentuk lubang-lubang (Bloom, 1979.
Bentuk-bentuk topografi karst mayor adalah:
a.      Surupan
Yaitu depresi tertutup hasil pelarutan denagn diameter mulai dari beberapa meter sampai beberapa kilometer, kedalamannya mencapai ratusan meter dan bentuknya dapat bundar atau lonjong (oval), (Twidale, 1967). Surupan (dolines) ini di Amerika Serikat disebut sebagai sink atau sink-holey (Ritter, 1978).
Jenning (1971) dan Bloom (1979), mengemukakan bahwa ada lima macam surupan yang dikenal yaitu surupan runtuhan (collapse dolines), surupan pelarutan (solution dolines), subsidence dolines, subjacent karst collapse dolines dan star-shape doline (Lihat gambar 2.6).
 
Gambar 2.6 Lima macam surupan yang utama, dibedakan menurut pembentukannya (Bloom, 1979)
b.      Uvala
Adalah depresi tertutup yang besar, terdiri dari gabungan beberapa doline, lantai dasarnya tidak rata. Jenning (1967) dalam Ritter (1978), mengemukakan bahwa sebuah uvala terdiri dari 14 buah doline dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi. Ukuran diameternya berkisar antara 5 – 1000 meter dan kedalamannya berkisar antara 1 - 200 meter, dindingnya curam.
c.       Polje
Depresi tertutup yang besar dengan lantai dasar dan dinding yang curam, bentuknya tidak teratur dan biasanya memanjang searah jurus perlapisan atau zona lemah structural. Pembentukannya dikontrol oleh litologi dan struktur dan mengalami pelebaran oleh proses korosi lateral  pada saat ia terisi air (Riiter, 1979). Polje mempunyai ukuran yang sangat besar minimal dalam satuan kilometer persegi.
d.      Jendela Karst
Adalah lubang pada atap gua yang menghubungkan antara ruang dalam gua dengan udara diluar yang terbentuk karena atap gua tersebut runtuh, (Twidale, 1976). Disamping itu jendela karst dapat pula terbentuk pada atap sungai bawah tanah.
e.       Lembah Karst (Karst Valley)
Adalah lembah atau alur yang besar yang terdapat pada lahan karst. Lembah ini terbentuk oleh aliran air permukaan yang mengerosi batuan yang dilaluinya. Secara umum, lembah karst dapat dibedakan menjadi beberapa macam dengan sifat pembeda yang jelas (Ritter, 1978). Dalam hal ini disebutkan ada empat macam lembah karst, yaitu:
-       Allogenic Valley, yaitu lembah yang bagian hulunya berada pada batuan yang kedap air kemudian masuk kedalam daerah karst. Panjang pendeknya lembah allogenik ini tergantung pada besar kecilnya aliran yang membentuk, semakin besar alirannya maka semakin panjag lembah yang terbentuk.
-       Lembah Buta (Blind Valley), yaitu lembah atau sungai pada lahan karst yang secara tiba-tiba berakhir pada suatu tempat dan biasanya pada akhir lembah ini air permukaan tanah akan masuk kedalam tanah. Bila suatu saat aliran dapat melampaui lembah tersebut (misal, saat hujan lebat atau terjadi pencairan es), maka lembah ini disebut sebagai semiblind valley.
-       Pocket Valley, yaitu lembah yang dimulai dari tempat keluarnya air yang masuk melalui surupan. Pada umumnya pocket valley berasosiasi dengan mata air yang besar yang keluar diatas batuan kedap air yang terletak dibawah lapisan batugamping yang tebal. Lembah in umumnya berbentuk huruf U dan memiliki tebing yang curam, ukurannya tergantung besar kecilnya debit mata air yang keluar. Sweeting (1973) dalam Ritter (1978) menyebutkan bahwa panjang lembah ini dapat mencapai 8 km, lebar 1 km dan dalamnya berkisar antara 300 - 400 meter.
-       Lembah Kering (Dry Valleys), yaitu lembah pada lahan karst yang mirip dengan lembah fluviatil, hanya saja (sesuai dengan namanya) lembah ini tidak berfungsi sebagai penyaluran air permukaan (kering), karena air hujan yang jatuh dan masuk kedalam lebah ini dengan segera akan meresap kedalam retakan batuan dasarnya.
f.        Gua (Cave)
yaitu serambi tau ruangan bawah tanah yang dapat dicapai dari permukaan dan cukup besar bila dimasuki oleh manusia (Sanders, 1981). Gua seringkali teridir dari rangkaian ruangan sehingga kedalamannya dapat mencapai ratusan meter (Lihat gambar 2.7).
Gambar 2.7 Mulut Gua Semuluh di Gunung Sewu yang bentuknya dipengaruhi oleh kekar (Samodra, 1996)
g.      Terowongan dan Jembatan Alam
Yaitu lorong bawah tanah yang terbentuk oleh pelarutan dan penggerusan air tanah atau oleh aliran bawah tanah (Von Engeln, 1942). Terowongan alam memiliki ukuran yang bervariasi artinya dapat berukuran besar atau kecil. Sebagai contoh, terowongan di Virginia dapat berukuran mencapai 275 meter, tingginya 23 meter dan lebarnya 40 meter.
Suatu ketika atap terowongan alam tersebut runtuh, sehingga panjang terowongan tersebut semakin berkurang, akibatnya suatu saat morofologi yang terbentuk lebih tepat disebut dengan Jembatan Alam (Von Engeln, 1942).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa jembatan alam juga dapat terbentuk oleh proses pelautan saja. Apabila jembatan alam tersebut terbentuk oleh proses pelarutan batuan oleh air tanah maka disebut sebagai Jembatan Karst (Karst Briges).
2.4.2. Bentuk-bentuk Sisa Pelarutan
Yang dimaksud dengan bentuk morfologi sisa pelarutan adalah morfologi yang terbentuk karena pelarutan dan erosi sudah berjalan sangat lanjut sehingga meninggalkan sisa yang khas untuk lahan karst. Morfologi sisa dapat berkembang baik terutama pada daerah yang beriklim tropis basah (Bloom, 1979). Macam-macam bentuk morfologi sisa yaitu:


a.      Kerucut Karst
Yaitu bukit karst yang berbentuk kerucut, berlereng terjal dan dikelilingi oleh depresi yang biasanya disebut sebagai bintang (Ritter, 1978).
Kerucut karst sering disebut sebagai kegelkarst (bahasa Jerman). Pada kenyataannya kerucut karst sering kali lebih mirip setengah bola dibanding dengan bentuk kerucut (Lehman, 1963, dalam Bloom, 1979). Depresi tertutup yang mengelilingi bukit sisa biasanya terbentuk bintang dan tidak teratur sering disebut sebagai cockpits dan terbentuk oleh proses pelarutan sepanjang zona kekar atau patahan (Sweeting, 1958 dalam Ritter, 1978).
Gambar 2.8 Bukit-bukit batugamping berbentuk kerucut membulat penyusun karst Gunung Sewu (Samodra, 1996)
b.      Menara Karst
Adalah bukit sisa pelarutan dan erosi berbentuk menara dengan lereng yang terjal, tegak atau menggantung, terpisah satu dengan yang lain dan dikelilingi oleh dataran alluvial (Ritter, 1978). Menurut Jenning (1971) dalam Ritter (1978) menara karst dan kerucut karst dibedakan dalam hal keterjalan lereng dan adanya rawa / dataran alluvial yang mengelilinginya. Menara karst disebut juga pepino hill atau haystack atau turmkarst. Contoh menara karst yang baik adalah menara karst yang terdapat di Kweilin, Propinsi Kwangsi, China.
c.       Mogote
Adalah bukit terjal yang merupakan sisa pelarutan dan erosi, umumnya dikelilingi oleh dataran alluvial yang hampir rata (flat). Bentuknya kadang-kadang tidak simetri antara sisi yang mengarah ke arah datangnya angin dengan sisi sebaliknya (Ritter, 1978) .Mogote dan menara karst dibedakan dari bentuk dan keterjalan lereng sisi-sisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan memberi komentar untuk memperbaiki blog ini