2.1 Pendahuluan
Karst adalah istilah dalam bahasa Jerman yang diambil dari
istilah Slovenian kuno yang berarti topografi hasil pelarutan (solution topography) (Blomm,1979).
Menurut Jenning (1971, dalam Blomm 197), topografi karst didefinisikan sebagai
lahan dengan relief dan pola penyaluran yang aneh, berkembang pada batuan yang
mudah larut (memiliki derajat kelarutan yang tinggi) pada air alam dan dijumpai
pada semua tempat pada lahan tersebut. Flint dan Skinner (1977) mendefinisikan
topografi karst sebagai daerah yang berbatuan yang mudah larut dengan surupan (sink) dan gua yang berkombinasi
membentuk topografi yang aneh (peculiar
topography) dan dicirikan oleh adanya lembah kecil, penyaluran tidak
teratur, aliran sungai secara tiba-tiba masuk ke dalam tanah meninggalkan
lembah kering dan muncul sebagai mata air yang besar.
Berdasarkan kedua definisi diatas maka dapat ditetapkan suatu
pengertian tentang topografi karst yaitu: “Suatu topografi yang terbentuk pada
daerah dengan litologi berupa batuan yang mudah larut, menunjukkan relief yang
khas, penyaluran yang tidak teratur, aliran sungainya secara tiba-tiba masuk
kedalam tanah dan meninggalkan lembah kering untuk kemudian keluar ditempat
lain sebagai mata air yang besar”.
Dari sebaran batugamping yang ada, Indonesia merupakan
wilayah yang potensial sebagai kawasan karst. Dari kondisi geologinya Indonesia kaya
akan batugamping. Tetapi tidak semua batugamping yang ada diwilayah Indonesia
dapat berkembang menjadi bentang alam karst. Beberapa wilayah di Indonesia yang
dapat ditemukan bentang alam karst, yaitu:
-
Pulau
Sumatra, bentang alam dipulau Sumatra sangat
kurang sangat berkembang, hanya sebagian tempat di Aceh, Sumatra Barat
(Singkarak) dan Sumatra Selatan
-
Pulau
Jawa, sebaran batugamping dipulalau Jawa umumnya berada dibagian selatan dan
beberapa diantaranya berkembang menjadi kawasan karst yang penting serta
terkenal di kalangan pemerhati karst. Kawasan bentang alam karst tersebut
berada di daerah Gombong Selatan dan Gunung Sewu
-
Pulau
Kalimantan, dari ekspedisi speleogi dari tim prancis yang dilakukan pada tahun
1980-an (ESFIK-1982, 1983) melaporkan bentang alam karst di wilayah pegunungan
Mangkalit, Kalimantan Timur. Di Kalimantan Tengah dapat dijumpai bentang alam
karst yang meliputi Gunung Haje dan Gunung Menunting di Muara Teweh. Di
Kalimantan Selatan terdapat diwilayah Pegunungan Meratus yang penyebarannya
terputus-putus.
-
Pulau
Sulawesi, benrkembang bentang alam karst sangat baikterutama Sulawesi Selatan.
Bentang alam karst Maros sangat terkenal dan telah diadakan penelitian serta
didapat data sedikitnya 29 gua yang harus dilindungi.
-
Pulau
Sumbawa, bentang alam ini terdapat di daerah Waingapu, Sumbawa Barat yang nilai
ekonomisnya berupa sumber daya air dengan debit kurang lebih 1000 lt/dt (MENLH
& Yayasan Jatidiri, 1998).
-
Pulau
Irian Jaya, Pulau Irian merupakan pulau yang kaya akan sebaran batugamping yang
berkembang menjadi bentang alam karst. Kawasan karst terdapat di daerah
Wamena-Pegunungan Trikoradengan nilai ilmiah berupa dolina raksasa, gua
terdalam, sungai bawah tanah terbesar serta di daerah Biak dan pulau Misool
dengan nilai peninggalan arkeologi. Kawasan bentang alam karst di Irian Jaya
merupakan satu-satunya formasi batuan yang paling baik mengandung air (MENLH
& Yayasan Jatidiri, 1998).
2.2. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Bentang Alam Karst
2.2.1
Faktor Fisik
Faktor fisik yang mempengaruhi pembentukan topografi karst
meliputi ketebalan batugamping, porositas dan permeabilitas batugamping serta
intensitas struktur (kekar) yang mengenai batuan tersebut.
1.
Ketebalan Batugamping
Menurut Von Engeln,
batuan mudah larut (dalam hal ini batugamping) yang baik untuk perkembangan
topografi karst harus tebal. Batugamping tersebut dapat masif atau terdiri dari
beberapa lapisan yang membentuk satu unit batuan yang tebal, sehingga mampu
menampilkan topografi karst sebelum batuan tersebut habis terlarutkan dan
tererosi. Ritter (1978) mengemukakan bahwa batugamping yang berlapis (meskipun
membentuk satu unit yang tebal), tidak sebaik batugamping yang massif dan tebal
dalam pembentukan topografi karst ini. Hal ini dikarenakan material sukar larut
dan lempung yang terkonsentrasi pada bidang perlapisan akan mengurangi kebebasan
sirkulasi air untuk menmbus seluruh lapisan. Sebaliknya pada batugamping yang
massif, sirkulasi air akan berjalan lancar sehingga mempermudah terjadinya
proses karstifikasi.
2.
Porositas dan Permeabilitas
Kedua hal ini
berpengaruh terhadap sirkulasi air dalam batuan. Menurut Ritter (1978),
porositas primer ditentukan oleh tekstur batuan dan berkurang oleh proses
sementasi, rekristalisasi dan penggantian mineral (misal: dolomitisasi)
sehingga porositas primer tidak begitu berpengaruh terhadap proses
karstifikasi. Sebaliknya dengan porositas sekunder yang biasanya terbentuk oleh
adanya retakan atau pelarutan dalam batuan. Porositas (baik primer maupun
sekunder) biasanya mempengaruhi permeabilitas yaitu kemampuan batuan batuan
untuk melalukan air. Disamping itu permeabilitas juga dipengaruhi oleh adanya
kekar yang saling berhubungan dalam batuan. Semakin besar permeabilitas suatu
batuan maka sirkulasi air akan berjalan semakin lancar sehingga proses
karstifikasi akan semakin intensif.
3.
Intesitas Struktur Terhadap Batuan
Intersitas struktur
terutama kekar sangat berpengaruh terhadap proses karstifikasi. Disamping kekar
dapat mempertinggi permeabilitas batuan, zona kekar merupakan zona yang lemah
yang mudah mengalami pelarutan dan erosi sehingga dengan adanya kekar dalam
batuan proses pelarutan dan erosi berjalan intensif. Ritter (1978) mengemukakan
bahwa kekar biasanya terbentuk dengan pola tertentu dan berpasangan (kekar
gerus), tiap pasang membentuk sudut antara 70° sampai 90° dan mereka saling berhubungan.
Hal inilah yang menyebabkan kekar dapat mempertinggi porositas dan
permeabilitas sekaligus sebagai zona lemah yang menyebabakan proses pelarutan
dan erosi berjalan lebih intensif. Apabila intensitas pengkekaran sangat tinggi
maka batuan menjadi mudah hancur atau tidak memiliki kekauatan yang cukup.
Disamping itu permeabilitas mejadi sangat tingi sehingga waktu sentuh batuan
dan air sangat cepat. Hal ini menghambat proses kartifikasi (Ritter, 1978).
2.2.2
Faktor Kimiawi
Faktor kimiawi yang berpengaruh dalam proses karstifikasi
adalah kondisi kimia batuan dan kondisi kimia media pelarut.
1.
Kondisi Kimia Batuan
Kondisi kimia
batuan yang dimaksud adalah komposisi dan sifat kimia (kelarutannya).
Secara umum
berdasarkan komposisinya batugamping dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok, tetapi sesuai dengan namanya batugamping sedikitnya mengnadung 50%
mineral karbonat yang umumnya berupa kalsit (CaCO3). Dua jenis
mineral karbonat yang umum ada pada batugamping adalah kalsit dan dolomite
(Sweeting, 1973 dalam Ritter, 1978). Menurut Leigton dan Pendexter (1962 dalam
Ritter, 1978), bila batuan mengandung mineral dolomite lebih dari 50% maka
batuannya disebut dolomite dan bila batuannya mengandung mineral kalsit lebih
dari 50% maka batuannya disebut batugamping. Batugamping inilah yang mempunyai
kecenderungan untuk membentuk topografi karst.
Corbel (1957 dalam
Ritter, 1978) menyebutkan bahwa untuk membentuk topografi karst diperlukan
sedikitnya 60% kalsit dalam batuan. Untuk perkembangan topografi karst yang
baik diperlukan kurang lebih 90% kalsit dalam batuan tersebut, tetapi bila
kandungan mineral kalsit lebih dari 95% (batugamping murni, misal kalk) maka
batuan tersebut tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk pembentukan topografi
karst. Topografi karst yang dapat terbentuk pada kalk hanya lembah kering,
lubang pelarutan (solution pits) dari lubang-lubang yang dangkal (swallows
holes) atau bentuk minor yang terdapat dipermukaan lainnya (Twidale, 1976).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa dolomit mempunyai pelarutan dan kekuatan
(strength) yang lebih kecil dibanding kalsit (batugamping), sehingga
perkembangan topografi karst pada dolomit lebih jelek dibandingkan dengan
perkembagan karst pada batugamping. Topografi karst yang dapat berkembang pada
dolomit adalah surupan kecil, depresi yang dangkal dan beberapa depresi dengan
lantai dasar dan dinding yang terjal.
2.
Kondisi Kimia Media Pelarut
Media pelarut dalam
proses karstifikasi adalah air alam (natural water) (Jehning, 1971 Vide Bloom,
1979). Kondisi kimiawi media pelarut ini sangat berpangaruh pada proses
karstifikasi.
Flint dan Skinner
(1979) mengemukakan bahwa kalsit sangat sulit larut dalam air murni, akan
tetapi ia akan larut dalam air yang mengandung asam. Di alam, air hujan akan
mengikat karbondioksida (CO2) dari udara dan dari tanah disekitarnya
membentuk air / larutan yang bersifat asam yaitu asam karbonat (H2CO3).
Larutan inilah yang akan melarutkan batugamping. Dengan demikian bahwa sifat
kimiawi media pelarut sangat dipengaruhi oleh banyaknya karbondioksida yang
diikatnya.
Disamping membentuk
larutan asam, karbondioksida di dalam air akan meningkatkan tekanan parsial CO2
dalam larutan tersebut. Tekanan parsial CO2 yang tinggi dalam
larutan akan mempertinggi kemampuan larutan untuk melarutkan kalsit. Bloom
(1979) menyebutkan bahwa tekanan parsial CO2 pada air yang
mengandung udara (aerated aqueous) hanya 30 Pa dan CaCO3 yang dapat
dilarutkannya kurang lebih hanya 63 mg/lt, tetapi pada kondisi tidak ada udara
(anaerobic) tekanan parsial CO2 meningkat sampai 30 kPa dan CaCO3
yang dapat dilarutkannya mencapai 700 mg/lt.
3.
Faktor Biologis
Aktifitas biologis
dapat mempengaruhi pembentukan topografi karst, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Menurut Bloom (1979) aktifitas biologis (dalam hal ini
tumbuh-tumbuhan dan mikrobiologis) dapat menghasilkan humus yang akan menutupi
batuan dasar. Humus ini menyebabkan batuan dasar tersebut menadi anaerobik,
sehingga air permukaan yang masuk sampai kebatuan dasar (sampai zona anaerob)
tekanan parsial CO2nya bertambah besar sampai 10 kali lipat
dibanding dengan saat dia berada dipermukaan. Karena tekanan parsial CO2
naik, maka kemampuan air untuk melarutkan batuan menjadi lebih tinggi. Dengan
demikian berarti dengan terbentuknya humus oleh aktifitas biologis, maka proses
karstifikasi berjalan lebih internsif.
Disamping
meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam larutan, pada saat
pembentukan humus juga terjadi proses dekomposisi material organik yang
menghasilkan karbondioksida (CO2). Karbondioksida ini disebut dengan
biogenik CO2, yang merupakan bagian terbesar dari kandungan CO2
di dalam tanah (Ritter, 1978). Dengan demikian berarti bahwa aktifitas biologis
juga menambah suplay CO2 didalam tanah dan CO2 ini akan
diikat oleh air tanah sehinga lebih reaktif.
Aktifitas biologis
kecuali meningkatkan tekanan parsial CO2 dan menambah kadar CO2
dalam tanah juga dapat berpengaruh secara langsung dalam pembentukan topografi
karst. Folk, dkk (1973) Vide Ritter (1978) menyebutkan bahwa pembentukan phytokarst dipengeruhi oleh tetumbuhan
(dalam hal ini algae) secara
langsung. Algae yang hidup pada betugamping melekat dan menembus permukaan
batugamping tersebut sedalam 0,1 – 0,2 mm. Algae ini juga menghasilkan larutan
asam yang kemudian melarutkan batuan disekitar tempat tumbuhnya, akibat
permukaan batugamping tersebut berlekuk-lekuk dengan lubang-lubang yang saling
berhubungan dan bentuk tepinya tajam-tajam.
4.
Faktor Iklim dan Lingkungan
Iklim dan
lingkungan merupakan dua hal yang sering kali sulit untuk dipisahkan. Lingkungan
dalam arti sempit adalah kondisi disekitar tempat yang dimaksud (dalam hal ini
adalah lahan pembentukan topografi karst) dan lingkungan dalam arti luas
meliputi seluruh aspek biotik dan abiotik yang ada di daerah yang dimaksud.
Didalam membahas
lingkungan dalam arti sempit, Von Engeln (1942) mengemukakan bahwa kondisi
lingkungan yang mendukung pembentukan topografi karst adalah adanya lembah
besar yang mengelilingi tempat yang tinggi, yang terdiri dari batuan mudah
larut (batugamping) yang terkekarkan dengan intensif. Kondisi ini menyebabkan
air tanah pada tempat yang tinggi dapat turun, menembus batugamping tersebut
dan melarutkannya dengan bebas. Selanjutnya air tanah tersebut masuk kedalam
lembah sebagai air permukaan.
Disamping itu
Ritter (1978) menyebutkan bahwa kondisi lingkungan disekitar batugamping harus
lebih rendah, atau dengan kata lain batugamping tersebut haurs memiliki elevasi
yang lebih tinggi dibanding lingkungan disekitarnya. Kondisi lingkungan seperti
ini menyebabkan sirkulasi air dapat berjalan dengan baik sehingga proses
karstifikasi dapat berjalan lebih intensif.
Lingkungan dalam
arti luas mencakup kondisi biotik (aktifitas biologis) dan kondisi abiotik
(suhu, curah hujan, presipitasi dan penguapan) daerah yang dimaksud. Kondisi
biotik dan abiotik disuatu daerah sangat ditentukan oleh iklim daerah tersebut
(Bloom, 1979). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kondisi biotik dan abiotik
tersebut sangat mempengaruhi proses eksogenik, yaitu baik pelapukan ataupun
pelarutan batugamping. Dengan demikian berarti bahwa iklim sangat mempengaruhi
proses eksogenik pada suatu daerah.
Daerah yang
beriklim tropis basah (lintang 0° – 13°) curah hujan cukup tingggi, kombinasi
suhu dan presipitasi ideal untuk berlangsungnya proses pelarutan sehingga
proses karstifikasi berjalan sangat bagus (Riter, 1978). Selain itu sikulasi
air tanah sangat baik, tumbuh-tumbuhan lebah dan aktifitas mikroba cukup tinggi
sehingga sangat mendukung terjadinya proses karstifikasi. Air tanah di daerah
ini sangat reaktif untuk pelarutan dan suhu udara cukup tinggi sehinga reaksi
kimia untuk melarutkan batugamping berjalan lebih cepat. Menurut Bloom (1979),
air tanah di daerah tropis mengandung asam organik dan komponen nitrat sehingga
agrasifitasnya naik. Dengan kondisi daerah semacam ini maka topografi kras
dapat berjalan dengan baik di daerah beriklim tropis basah. Topografi karst
yang dapat terbentuk pada daerah tropis basah sangat bervariasi baik
konstruksional maupun topografi sisa.
2.3 Proses
Pembentukan Topografi Karst
Von Engeln (1942) menyebutkan bahwa kondisi batuan yang
menunjang terbentuknya topografi karst ada 4, yaitu:
-
Mudah
larut dan berada dipermukaan atau dekat dengan permukaan.
-
Masif,
tebal, dan terkekarkan.
-
Berada
pada daerah yang curah hujannya sedang sampai tinggi.
-
Dikelilingi
oleh lembah sehingga air permukaan dapat melalui rekahan-rekahan yang ada pada
batuan sambil melarutkannya.
Pembentukan topografi karst dimulai pada saat air permukaan
memasuki rekahan yang diikuti oleh pelarutan batuan pada zona rekahan tersebut
(Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Diagram aliran air
didalam batugamping melalui rekahan (a) dan gua (b)
Akibatnya adanya proses pelarutan tersebut, rekahan yang ada
menjadi semakin lebar, akhirnya membentuk sungai bawah tanah atau gua.
Davis (1930, dalam Bloom, 1979) mengemukakan teori
pembentukan gua yang dikenal sebagai deep
phreatic theory yang mengemukakan bahwa gua terbentuk di tempat yang jauh
dibawah muka airtanah karena aliran air preatik dapat mencapai tempat yang
sangat dalam.
Apabila suatu saat ada suatu sebab yang menyebabkan gua
tersebut berada di atas muka airtanah, misalnya pengangkatan atau ada penurunan
muka airtanah, maka didalam gua tersebut akan terdapat ruangan yang hanya
berisi udara (atmosfer gua). Dengan demikian maka airtanah yang bergerak dari
atas dan masuk ke dalam gua tersebut akan menetes ke dasar atau lantai gua.
Pada saat airtanah yang membawa larutan kalsium bikarbonat menetes kedalam gua
maka gas CO2 dari larutan tersebut berdifusi dan masuk kedalam
atmosfer gua, akibatnya akan terendapkan mineral kalsit baik ditempat jatuhnya
airtanah maupun pada tempat menetesnya airtanah tersebut (Sanders, 1981).
Endapan kalsit tersebut membentuk Stalagtit dan Stalagmit atau dikenal dengan
nama Speleothem.
Dengan adanya gua dan sungai bawah tanah ini maka dapat
terbentuk depresi tertutup yang disebut surupan. Surupan (dolines) terbentuk bila atap gua atau sungai bawah tanah runtuh ,
dan surupan yang terbentuk ini dikenal dengan nama collapse dolines atau subjacent
karst collapse dolines. Selanjutanya Bloom (1979) mengemukakan bahwa
surupan dapat terbentuk oleh proses pelarutan pada saat air permukaan memasuki
rekahan pada batuan. Surupan jenis ini disebut solution dolines. Perkembangan
surupan runtuhan (collapse dolines) dan
surupan pelaurutan (solution dolines)
digambarkan oleh Longwell dkk (1948) seperti gambar 2.2.
Gambar 2.2 Perkembangan collapse
dolines akibat runtuhnya atap gua (Longwell, 1949)
Pekembangan surupan runtuhan dimulai dengan
adanya rongga bawah tanah (gua) pada batugamping. Kemudian gua tersebut
mengalami pelebaran bersma-sama dengan berkembangnya Stalagmit dan Stalagtit.
Fase selanjutnya adalah runtuhnya atap gua tersebut dan membentuk surupan yang
bentuknya tidak teratur.
Surupan pelarutan mulai berkembang saat
terjadi pelebaran kekar vertikal oleh pelarutan (Gambar 2.3a). Kemudian terjadi
pelebaran kekar tersebut sehingga mambentuk celah yang lebih lebar. Tampak pada
gambar 2.3b dan 2.3c bahwa pelarutan lebih efektif pada daerah yang dekat
dengan permukaan. Fase selanjutnya lapisan penutup di permukaan terbuka sehingga
terbentuk surupan (gambar 2.3d).
Gambar 2.3 Perkembangan surupan
akibat adanya pelarutan pada batugamping yang terkekarkan (Longwell, 1948)
Selain yang tersebut diatas, surupan juga
dapat terbentuk oleh proses subsiden pada material sukar larut yang menutup
batuan mudah larut. surupan jenis ini disebut subsidence dolines.
Apabila surupan-surupan yang berdekatan
berkembang sehingga saling berhubungan dan membentuk suatu depresi besar dengan
lantai dasar yang bergelombang, maka depresi ini disebut Uvala.
Jenning (1967, dalam Ritter, 1978)
menyebutkan bahwa uvala dapat tersusun oleh 14 buah doline dengan ukuran yang
bervariasi dan beraneka ragam. Selanjutnya disebutkan pula bahwa bila depresi
yang besar tersebut memanjang searah jurus perlapisan atau sepanjang zona lemah
structural, lantai dasarnya datar dan dindingnya curam maka disebut Polje.
Proses pelarutan pada batuan karbonat
(batugamping) meninggalkan morfologi sisa pelarutan. Perkembangan morfologi
sisa ini menurut Jackues (1977, dalam Van Zuidam, 1979) dapat dibagi dalam
empat fase. Keempat fase tersebut adalah (Gambar 2.4).
Gambar 2.4 Diagram yang menunjukkan
perkembangan morfologi sisa pelarutan (Jackues 1977, dalam Van Zuidam, 1979)
Fase I. Terjadi pelarutan pada batuan yang terkekarkan
sehingga membentuk lembah yang ekmudian merupakan zona yang lebih cepat
mengalami pelarutan (zona A) dibanding dengan zona B yang tidak mengalami pengkekaran.
Fase II. Karena zona A lebih cepat mengalami pelarutan maka
pada zona ini segera terbentuk lembah yang dalam, sementara pada zona B masih
berupa dataran tinggi dengan gejala pelarutan di beberapa tempat (gambar
7.5.2).
Fase III. Pelarutan pada kedua zona tersebut terus berjalan
sehingga pada fase ini mulai terbentuk kerucut-keucut karst pada zona B. pada
kerucut karst ini tingkat pelarutan / tingkat erosi vertikalnya lebih kecil
dibanding dengan lembah disekitarnya .
Fase IV. Karena adanya erosi lateral dan korosi oleh aliran
sungai maka zona A berada pada batas permukaan erosi dan pada zona B erosi
vertikalnya telah berjalan lebih lanjut sehinga hanya tinggal beberapa
morfologi sisa saja. Morfologi sisa ini sering disebut dengan Menara Karst. Apabila menara-menara
karst terebut terisolasi satu dengan yang lainnya dan dikelilingi oleh dataran
alluvial, maka morfologi ini disebut sebagai Mogote atau Pepino Hill.
Morfologi sisa berkembang baik pada daerah yang beriklim
tropis basah, karena proses erosi dan pelarutan sangat intensif pada daerah ini
(Bloom, 1979).
2.4. Bentang Alam
Hasil Proses Karstifikasi
Nama Karst menurut Thornbury (1964) dipakai
pertama kali untuk menamakan sebuah daerah di Italia yaitu Carso. Daerah Carso
merupakan dareah seluas kurang lebih 38.500 km2 dengan ketinggian
mencapai 2.500 m yang litologinya berupa batugamping dimana gejala topografi
karst berkembang baik di daerah ini. Daerah karst yang dimaksud tepatnya berada
di sebelah timur laut Laut Adriatic.
Bentuk morfologi yang menyusun suatu bentang
alam karst dapat dibedakan menjadi dua macam (Srijono, 1984, dalam Widagdo,
1984), yaitu bentuk-bentuk konstruksional dan bentuk-bentuk sisa pelarutan.
2.4.1.
Bentuk-bentuk Konstruksional
Bentuk konstruksional adalah bentuk topografi yang dibentuk
oleh proses pelarutan batugamping atau pengendapan material karbonat yang
dibawa oleh air. Berdasarkan ukurannya, topografi konstruksional dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu bentuk-bentuk
minor dan bentuk-bentuk mayor.
Menurut Bloom (1979), yang dimaksud dengan bentang alam karst minor adalah
bentang alam yang tak dapat diamati pada foto udara atau peta topografi, sedang
bentang alam karst mayor adalah bentang alam yang dapat diamati baik didalam
foto udara atau peta topografi.
Bentuk-bentuk topografi karst minor adalah:
a.Lapies
Merupakan bentuk tak rata pada
permukaan batugamping akibat adanya proses pelarutan, penggerusan atau karena
proses lain. Lapies (bahasa Prancis) sering disebut Karren (bahasa Jerman) atau
Clints (bahasa Inggris) (Thornbury, 1964). Ritter (1978) mengklasifikasikan
Karren berdasar bentuknya menjadi dua kelompok, yaitu yang mempunyai bentuk lurus dan bentuk melingkar seperti
bulan sabit (lihat tabel 2.1).
Tabel 2.1. klasifikasi Karren
(lapies) (Ritter, 1979)
Bentuk
|
Nama
|
Keterangan
|
Linier/kurva linier
|
Solution Flutes
|
Berupa lekukan halus, lurus,
kedalaman 1-2 cm, lebar kira-kira 2 cm, seragam, panjang 10 cm – beberapa
meter, antar celah dibatasi oleh pematang yang tajam, terorientasi searah
dengan slope.
|
Solution Runnels
|
Berupa aluran terbatas, dalamnya
kira-kira 40 cm, lebar 40 – 50 cm, panjang lebih dari 2 cm, bila terjadi pada
bidang kekar atau bidang perlapisan disebut grikes
|
|
Solution Ripple
(Gelombang Pelarutan)
|
Berupa gelembur gelombang yang tegak
lurus terhadap slope, tingginya 10 – 50 cm, terbentuk pada permukaan miring
yang curam
|
|
Melingkar (bulan sabit)
|
Lubang pelarutan air hujan (rain
pits)
|
Berupa lubang kecil pada permukaan
yang datar, diameternya 3 cm, dalamnya 2 cm, terbentuk oleh tetesan air hujan
|
Solution Pans
|
Berupa cekungan dengan lantai yang
datar, diameternya 1 – 50 cm, lebar 3 cm – 3 m, terbentuk pada batuan dasar
yang tertutup vegetasi
|
|
Lereng Pelarutan (Solution Bevels)
|
Berupa jejak (treads) dan lereng
(scraps) yang datar dan licin, panjang treads 20 cm – 1 m, tinggi scraps 3 –
5 cm, terbentuk oleh gerakanair diatas batuan dasar yang miring rendah
|
Berdasarkan letak pembentukannya
(origin), lapies dapat dibedakan menjadi dua macam (Herak dan Stringfiels,
1972), yaitu lapies yang originnya tersingkap dipermukaan dan lapies yang
originya tidak tersingkap dipermukaan / berada di bawah tanah dan lapies yang
originnya tersingkap dipermukaan.
b. Karst Split
Adalah celah pelarutan yang
terbentuk dipermukaan. Karst split sebenarnya merupakan perkembangan dari karst-runnel (solution runnel). Bila
jumlah karst runnel banyak dan saling berpotongan maka akan membentuk karst
split (Srijono, 1984 dalam Widagdo, 1984).
c.
Parit Karst
Adalah alur pada permukaan yang
memanjang membentuk parit. Srijono (1984), mengemukakan bahwa parit karst ini
merupakan karst split yang memajang sehingga membentuk parit karst.
d.
Palung Karst
Adalah alur pada permukaan batuan
yang besar dan lebar, dibentuk oleh proses pelarutan. Kedalamannya dapat
mencapai lebih dari 50 cm. biasanya terbentuk pada permukaan batuan yang datar
atau miring rendah dan dikontrol oleh struktur yang memanjang.
e.
Speleothem
Adalah hiasan yang terdapat didalam
gua yang dihasilkan oleh endapan berwarna putih, bentuknya seperti tetesan air,
mengkilat dan menonjol. Hiasan ini merupakan endapan CaCO3 yang
mengalami presipitasi pada saat air tanah yang membawanya masuk kedalam gua
(Sanders, J.E., 1981). Macam-macam speleothems yang sering dijumpai adalah
Stalagtit, yaitu hiasan yang menggantung dilangit-langit dan Stalagmit, yaitu
hiasan yang berada di dasar atau di lantai gua serta Tiang Masif (Massife
Column), yaitu hiasan yang terbentuk bila stalagtit dan stalagmite bertemu.
(lihat gambar 2.5).
Gambar 2.5 Stalaktit dan stalagmit
yang hampir membentuk tiang masif (massive column) (Samodra, 1997)
f.Fitokarst
Adalah permukaan
yang berlekuk-lekuk, dengan lubang-lubang yang saling berhubungan. Antara
lubang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh tepi-tepi yang tajam, sehingga
memberikan bentuk seperti bunga karang pada menara (pinnacles) karst. Morfologi ini terbentuk karena adanya pengaruh
aktifitas biologis, yaitu adanya algae yang yang tumbuh didalam batugamping.
Algae menutup permukaan dan masuk kebawah permukaan sedalam 0,1 – 0,2 mm,
tampaknya algae tersebut tumbuh didalam batugamping dan menghasilkan larutan
asam yang dapat melarutkan batugampingnya sehingga membentuk lubang-lubang
(Bloom, 1979.
Bentuk-bentuk topografi karst mayor adalah:
a. Surupan
Yaitu depresi
tertutup hasil pelarutan denagn diameter mulai dari beberapa meter sampai beberapa
kilometer, kedalamannya mencapai ratusan meter dan bentuknya dapat bundar atau
lonjong (oval), (Twidale, 1967). Surupan (dolines) ini di Amerika Serikat
disebut sebagai sink atau sink-holey (Ritter, 1978).
Jenning (1971) dan
Bloom (1979), mengemukakan bahwa ada lima macam surupan yang dikenal yaitu
surupan runtuhan (collapse dolines), surupan pelarutan (solution dolines), subsidence dolines, subjacent karst collapse
dolines dan star-shape doline
(Lihat gambar 2.6).
Gambar 2.6 Lima macam surupan yang
utama, dibedakan menurut pembentukannya (Bloom, 1979)
b.
Uvala
Adalah depresi
tertutup yang besar, terdiri dari gabungan beberapa doline, lantai dasarnya
tidak rata. Jenning (1967) dalam Ritter (1978), mengemukakan bahwa sebuah uvala
terdiri dari 14 buah doline dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi. Ukuran
diameternya berkisar antara 5 – 1000 meter dan kedalamannya berkisar antara 1 -
200 meter, dindingnya curam.
c. Polje
Depresi tertutup
yang besar dengan lantai dasar dan dinding yang curam, bentuknya tidak teratur
dan biasanya memanjang searah jurus perlapisan atau zona lemah structural.
Pembentukannya dikontrol oleh litologi dan struktur dan mengalami pelebaran
oleh proses korosi lateral pada saat ia
terisi air (Riiter, 1979). Polje mempunyai ukuran yang sangat besar minimal
dalam satuan kilometer persegi.
d.
Jendela Karst
Adalah lubang pada
atap gua yang menghubungkan antara ruang dalam gua dengan udara diluar yang
terbentuk karena atap gua tersebut runtuh, (Twidale, 1976). Disamping itu
jendela karst dapat pula terbentuk pada atap sungai bawah tanah.
e. Lembah
Karst (Karst Valley)
Adalah lembah atau
alur yang besar yang terdapat pada lahan karst. Lembah ini terbentuk oleh
aliran air permukaan yang mengerosi batuan yang dilaluinya. Secara umum, lembah
karst dapat dibedakan menjadi beberapa macam dengan sifat pembeda yang jelas
(Ritter, 1978). Dalam hal ini disebutkan ada empat macam lembah karst, yaitu:
-
Allogenic Valley, yaitu lembah yang bagian
hulunya berada pada batuan yang kedap air kemudian masuk kedalam daerah karst.
Panjang pendeknya lembah allogenik ini tergantung pada besar kecilnya aliran
yang membentuk, semakin besar alirannya maka semakin panjag lembah yang
terbentuk.
-
Lembah Buta (Blind Valley),
yaitu lembah atau sungai pada lahan karst yang secara tiba-tiba berakhir pada
suatu tempat dan biasanya pada akhir lembah ini air permukaan tanah akan masuk
kedalam tanah. Bila suatu saat aliran dapat melampaui lembah tersebut (misal,
saat hujan lebat atau terjadi pencairan es), maka lembah ini disebut sebagai semiblind valley.
- Pocket
Valley, yaitu
lembah yang dimulai dari tempat keluarnya air yang masuk melalui surupan. Pada
umumnya pocket valley berasosiasi dengan mata air yang besar yang keluar diatas
batuan kedap air yang terletak dibawah lapisan batugamping yang tebal. Lembah
in umumnya berbentuk huruf U dan
memiliki tebing yang curam, ukurannya tergantung besar kecilnya debit mata air
yang keluar. Sweeting (1973) dalam Ritter (1978) menyebutkan bahwa panjang
lembah ini dapat mencapai 8 km, lebar 1 km dan dalamnya berkisar antara 300 -
400 meter.
-
Lembah Kering (Dry Valleys),
yaitu lembah pada lahan karst yang mirip dengan lembah fluviatil, hanya saja
(sesuai dengan namanya) lembah ini tidak berfungsi sebagai penyaluran air
permukaan (kering), karena air hujan yang jatuh dan masuk kedalam lebah ini
dengan segera akan meresap kedalam retakan batuan dasarnya.
f.
Gua (Cave)
yaitu serambi tau
ruangan bawah tanah yang dapat dicapai dari permukaan dan cukup besar bila
dimasuki oleh manusia (Sanders, 1981). Gua seringkali teridir dari rangkaian
ruangan sehingga kedalamannya dapat mencapai ratusan meter (Lihat gambar 2.7).
Gambar 2.7 Mulut Gua Semuluh di
Gunung Sewu yang bentuknya dipengaruhi oleh kekar (Samodra, 1996)
g.
Terowongan dan Jembatan Alam
Yaitu lorong bawah
tanah yang terbentuk oleh pelarutan dan penggerusan air tanah atau oleh aliran
bawah tanah (Von Engeln, 1942). Terowongan alam memiliki ukuran yang bervariasi
artinya dapat berukuran besar atau kecil. Sebagai contoh, terowongan di Virginia
dapat berukuran mencapai 275 meter, tingginya 23 meter dan lebarnya 40 meter.
Suatu ketika atap
terowongan alam tersebut runtuh, sehingga panjang terowongan tersebut semakin
berkurang, akibatnya suatu saat morofologi yang terbentuk lebih tepat disebut dengan
Jembatan Alam (Von Engeln, 1942).
Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa jembatan alam juga dapat terbentuk oleh proses pelautan
saja. Apabila jembatan alam tersebut terbentuk oleh proses pelarutan batuan
oleh air tanah maka disebut sebagai Jembatan
Karst (Karst Briges).
2.4.2.
Bentuk-bentuk Sisa Pelarutan
Yang dimaksud dengan bentuk morfologi sisa pelarutan adalah
morfologi yang terbentuk karena pelarutan dan erosi sudah berjalan sangat
lanjut sehingga meninggalkan sisa yang khas untuk lahan karst. Morfologi sisa
dapat berkembang baik terutama pada daerah yang beriklim tropis basah (Bloom,
1979). Macam-macam bentuk morfologi sisa yaitu:
a. Kerucut
Karst
Yaitu bukit karst
yang berbentuk kerucut, berlereng terjal dan dikelilingi oleh depresi yang
biasanya disebut sebagai bintang (Ritter, 1978).
Kerucut karst
sering disebut sebagai kegelkarst
(bahasa Jerman). Pada kenyataannya kerucut karst sering kali lebih mirip
setengah bola dibanding dengan bentuk kerucut (Lehman, 1963, dalam Bloom,
1979). Depresi tertutup yang mengelilingi bukit sisa biasanya terbentuk bintang
dan tidak teratur sering disebut sebagai cockpits
dan terbentuk oleh proses pelarutan sepanjang zona kekar atau patahan
(Sweeting, 1958 dalam Ritter, 1978).
Gambar 2.8 Bukit-bukit batugamping
berbentuk kerucut membulat penyusun karst Gunung Sewu (Samodra, 1996)
b.
Menara Karst
Adalah bukit sisa
pelarutan dan erosi berbentuk menara dengan lereng yang terjal, tegak atau
menggantung, terpisah satu dengan yang lain dan dikelilingi oleh dataran
alluvial (Ritter, 1978). Menurut Jenning (1971) dalam Ritter (1978) menara
karst dan kerucut karst dibedakan dalam hal keterjalan lereng dan adanya rawa /
dataran alluvial yang mengelilinginya. Menara karst disebut juga pepino hill atau haystack atau turmkarst.
Contoh menara karst yang baik adalah menara karst yang terdapat di Kweilin,
Propinsi Kwangsi, China.
c. Mogote
Adalah bukit terjal
yang merupakan sisa pelarutan dan erosi, umumnya dikelilingi oleh dataran
alluvial yang hampir rata (flat). Bentuknya kadang-kadang tidak simetri antara
sisi yang mengarah ke arah datangnya angin dengan sisi sebaliknya (Ritter,
1978) .Mogote dan menara karst dibedakan dari bentuk dan keterjalan lereng
sisi-sisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan memberi komentar untuk memperbaiki blog ini